PERTAMA, yang harus di-clear-kan
lebih dahulu adalah bahwa memasarkan diri tidak sama dengan menjual diri.
Menjual diri tidak sama dengan melacur! Yang saya maksud dengan menjual diri di
sini adalah menawarkan diri diri dengan cara apapun supaya diterima di suatu
perusahaan. Kayak orang jualan barang lazimnya, seorang salesman bisa
saja melakukan bullshitting dengan mengatakan bahwa barang yang
dijualnya bagus. Konsentrasi terletak pada suatu usaha persuasi sehingga
membuat prospek percaya bahwa barang tersebut memang bagus. Seringkali disertai
dengan segala macam rayuan gombal! Atau sebaliknya membuat prospek menjadi
kasihan terhadap dirinya, karena target belum tercapai.
Kalau anda lakukan hal semacam ini
dalam rangka penjualan diri, inilah fatal. Para interviewer di
perusahaan biasanya sudah jauh lebih siap dari segi mental. Dia adalah orang
yang menentukan pilihan dari sekian banyak pelamar yang layak dipertimbangkan.
Karena itu, biasanya pelamar yang kurang berpengalaman akan berada pada posisi underdog.
Nah, dalam situasi seperti itu, bagaimanaAnda bisa ngomong gede tentang
diri Anda sendiri? Apa pun yang Anda katakan didengar oleh interviewer.
Masalahnya, apakah semuanya akan didengarkan? Didengar berarti kalimat-kalimat
Anda diterima. Didengarkan berarti kalimat-kalimat tadi benar-benar masuk
kedalam hati interviewer.
Lantas, bagaimana dengan strategi
meng-create rasa kasihan? Ini lebih parah lagi. Orang bisa saja membeli
barang karena kasihan. Mungkin karena harga barang tersebut cukup murah. Atau,
barang itu dibeli untuk nantinya diberikan kepada orang lain. Yang penting,
sesudah itu si pembeli tak punya urusan dengan penjual tadi. Amat berbeda
masalahnya, jika Anda menjual diri Anda sebagai karyawan. Dalam hal ini pembeli
tidak bisa sekedar membeli lantas menaruh atau bahkan memberikannya lagi untuk
orang lain.
Bagi interviewer, “membeli”
seorang karyawan berarti “menggunakan” karyawan tersebut, bila perlu untuk
jangka waktu yang panjang. Bukan cuma itu. Bahkan mereka juga mempertimbangkan
apakah calon karyawan bisa cocok dengan company culture
yangada.kalau tidak, bisa fatal. Bisa saja si pendatang baru yang nantinya
masuk ke perusahaan tidak jadi memperkuat tapi malahan merusak nilai-nilai yang
ada dan sudah terbentuk dalam perusahaan tersebut.
Menjual lebih menitikberatkan pada
penciptaan omset suat hasil jangka pendek. Karena itu, seorang penjual biasanya
mengkonsentrasikan diri untuk mendapatkan hasil dalam waktu
sesingkat-singkatnya. Menjual diri, jika menggunakan konsep yang sama akan
berakibat fatal! Mengapa? Karena sipembeli tidak gampang percaya begitu saja
atau malah memutuskan pembelian itu secara cepat, karena akan mempengaruhi
sesuatu untuk jangka panjang.
KEDUA, yang perlu di-clear-kan
adalah memasarkan diri bukan berarti mempromosikan diri. Banyak orang confused
antara pengertian pemasaran dan promosi. Promosi perlu, tapi hanya merupakan
bagian kecil dari pemasaran. Mempromosikan diri secara berlebihan akan
kelihatan seperti sedang jualan obat. Ada banyak cara lain yang bisa dilakukan
untuk melaksanakan pemasaran secara lengkap.
KETIGA, jangan ragu-ragu untuk
mengatakan bahwa Anda perlu untuk melakukan pemasaran diri. Tidak akan ada yang
mengatakan bahwa Anda sedang melanggar kode etik kalau Anda melakukan pemasaran
diri. Karena itu, Anda harus bisa memasarkan diri.
Kalau Anda ingin menggunakan konsep
pemasaran dalam mencari kerja, pandanglah diri Anda sebagai salah seorang player
yang harus bersaing dengan players lain untuk memuaskan pelanggan. Anda
mesti tahu, siapa pesaing Anda dan siapa pelanggan Anda. Pesaing Anda adalah
semua orang lain yang juga menginginkan pekerjaan yang sedang Anda lamar.
Sedangkan pelanggan Anda adalah perusahaan yang sedang Anda lamar itu.
Persoalannya sekarang adalah bagaimana membuat Anda dipilih oleh si pelanggan,
bukan bagaimana Anda menjual diri kepada pelanggan! Dan ingat, pelanggan hanya
memilih orang yang memenuhi kebutuhan, kemauan dan bahkan ekspektasi dia!
Peganglah ketiga hal tersebut!
Kebutuhan atau need seringkali
Cuma bersifat generik. Sebuah perusahaan mungkin saja sedang membutuhkan
seorang salesman untuk menawarkan produknya. Kalau Anda Cuma mengetahui
hal tersebut, maka sesungguhnya pengetahuan Anda kurang sekali. Anda mesti
terus mencari apa want perusahaan itu. Salesman bagaimana yang
dicarinya. Salesman pria atau wanita, umur berapa, punya kendaraan atau
tidak. Ini pun masih gampang. Biasanya semua itu sudah tertera di iklan
lowongan kerja. Yang jauh lebih sulit adalah mencari tentang ekspektasi atau
tingkat harapan! Inilah yang bisa membuat perusahaan puas. Carilah dengan
cermat tingkat ekspektasi tersebut, yang biasanya tidak terdapat di
iklan.dari mana Anda bisa mendapatkan? Dari mana saja! Kesalahan utama sang
pencari kerja adalah tidak mempelajari lebih dulu perusahaan yang dilamarnya.
Tentang bisnisnya, tentang persaingannya, tentang kekuatannya, tentang
kelemahannya dan seterusnya.
Lebih dari itu, sang pelamar juga
harus mencari tahu “struktur kekuatan politik” dalam perusahaan tersebut. Siapa
sih sebenarnya yang paling berpengaruh dalam penentuan penerimaan karyawan
baru? Seberapa kuat departemen personalia? Apakah sekedar “kantor pos” atau
juga memberikan rekomendasi yang serius? Atau bahkan penentu utama yang kelak
menjadi pemasok seluruh departemen yang sedang membutuhkan karyawan? Dengan
mempelajari hal-hal seperti itu, anda akan lebih bisa melakukan antisipasi
terhadap pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan pada waktu interviewer
pertama, kedua dan berikutnya.
Langkah selanjutnya yang penting Anda
buat adalah menentukan diferensiasi diri Anda sendiri, supaya tampak
beda dengan pelamar-pelamar lain. Kalau Anda tidak membedakan diri Anda dengan
yang lain, Anda hanyalah seorang “me-too-product”. Akibatnya Anda mesti
berlomba dalam harga, dalam hal ini gaji! Bukan orang yang tidak punya
kelebihan apapun yang bersedia menerima price lebih rendah? Tentu saja
Anda tak bisa menentukan gaji Anda dengan sewenang-wenang. Tapi dengan
melakukan diferensiasi, Anda punya “hak lebih” untuk meminta!
Bagaimana pendapat Anda?
Dikutip dari Marketing
Plus-5 Hermawan Kartajaya
No comments:
Post a Comment