Monday, July 8, 2013

KEBIASAAN atau IBADAH



Kebiasaan adalah perbuatan manusia yang tetap dilakukan berulang-ulang secara terus-menerus atau dalam sebagian besar waktu dengan cara yang sama dan tanpa hubungan akal atau keadaan jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatanya tanpa berpikir menimbang. Apabila suatu kebiasaan tertentu diterima oleh masyarakat dan kebiasaan itu selalu berulang-ulang dilakukan sedemikan rupa, sehingga tindakan yang berlawanan dengan kebiasaan itu dirasakan sebagai pelanggaran perasaan hukum, maka dengan demikian timbullah suatu kebiasaan hukum, yang oleh pergaulan hidup dipandang sebagai hukum. Untuk timbulnya hukum kebiasaan diperlukan beberapa syarat :
1.      Adanya perbuatan tertentu yg dilakukan berulang-ulang di dalam masyarakat tertentu (syarat materiil)
2.      Adanya keyakinan hukum dari masyarakat yang bersangkutan
3.      Adanya akibat hukum apabila kebiasaan itu dilanggar.
Ibadah adalah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya melalui lisan para Rasul-Nya, mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah Azza wa Jalla, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang bathin. Ibadah terbagi menjadi ibadah hati, lisan, dan anggota badan. Rasa khauf (takut), raja’ (mengharap), mahabbah (cinta), tawakkal (ketergantungan), raghbah (senang), dan rahbah (takut) adalah ibadah qalbiyah (yang berkaitan dengan hati). Sedangkan tasbih, tahlil, takbir, tahmid dan syukur dengan lisan dan hati adalah ibadah lisaniyah qalbiyah (lisan dan hati). Sedangkan shalat, zakat, haji, dan jihad adalah ibadah badaniyah qalbiyah (fisik dan hati). Serta masih banyak lagi macam-macam ibadah yang berkaitan dengan amalan hati, lisan dan badan. Ibadah inilah yang menjadi tujuan penciptaan manusia. Allah berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ مَا أُرِيدُ مِنْهُم مِّن رِّزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَن يُطْعِمُونِ إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rizki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi makan kepada-Ku. Sesungguhnya Allah Dia-lah Maha Pemberi rizki Yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.” [Adz-Dzaariyaat: 56-58]
Allah Azza wa Jalla memberitahukan bahwa hikmah penciptaan jin dan manusia adalah agar mereka melaksanakan ibadah hanya kepada Allah Azza wa Jalla. Dan Allah Mahakaya, tidak membutuhkan ibadah mereka, akan tetapi merekalah yang membutuhkan-Nya, karena ketergantungan mereka kepada Allah, maka barangsiapa yang menolak beribadah kepada Allah, ia adalah sombong. Siapa yang beribadah kepada-Nya tetapi dengan selain apa yang disyari’atkan-Nya, maka ia adalah mubtadi’ (pelaku bid’ah). Dan barangsiapa yang beribadah kepada-Nya hanya dengan apa yang disyari’atkan-Nya, maka ia adalah mukmin muwahhid (yang mengesakan Allah).
Ibadah itu berlandaskan pada tiga pilar pokok, yaitu: hubb (cinta), khauf (takut), raja’ (harapan).
Rasa cinta harus disertai dengan rasa rendah diri, sedangkan khauf harus dibarengi dengan raja’. Dalam setiap ibadah harus terkumpul unsur-unsur ini. Allah berfirman tentang sifat hamba-hamba-Nya yang mukmin:

يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ

“Dia mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya.” [Al-Maa-idah: 54]

وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِّلَّهِ

“Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cinta-nya kepada Allah.” [Al-Baqarah: 165]

إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا ۖ وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ

“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) kebaikan dan mereka berdo’a kepada Kami dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.” [Al-Anbiya’: 90]

Ibadah adalah perkara tauqifiyah yaitu tidak ada suatu bentuk ibadah yang disyari’atkan kecuali berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah. Apa yang tidak disyari’atkan berarti bid’ah mardudah (bid’ah yang ditolak) sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.

“Barangsiapa yang beramal tanpa adanya tuntunan dari kami, maka amalan tersebut tertolak.” HR. Muslim (no. 1718 (18)) dan Ahmad (VI/146; 180; 256), dari hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma.

Agar dapat diterima, ibadah disyaratkan harus benar. Dan ibadah itu tidak bisa dikatakan benar kecuali dengan adanya dua syarat:
a.      Ikhlas karena Allah semata, bebas dari syirik besar dan kecil.
b.      Ittiba’, sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Syarat yang pertama merupakan konsekuensi dari syahadat laa ilaaha illallaah, karena ia mengharuskan ikhlas beribadah hanya kepada Allah dan jauh dari syirik kepada-Nya. Sedangkan syarat kedua adalah konsekuensi dari syahadat Muhammad Rasulullah, karena ia menuntut wajibnya taat kepada Rasul, mengikuti syari’atnya dan meninggal-kan bid’ah atau ibadah-ibadah yang diada-adakan.
Hikmah di balik kedua syarat bagi sahnya ibadah tersebut adalah :
1.    Sesungguhnya Allah memerintahkan untuk mengikhlaskan ibadah kepada-Nya semata. Maka, beribadah kepada selain Allah di samping beribadah kepada-Nya adalah kesyirikan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدِّينَ

“Maka sembahlah Allah dengan tulus ikhlas beragama kepada-Nya.” [Az-Zumar: 2]
2. Sesungguhnya Allah mempunyai hak dan wewenang Tasyri’ (memerintah dan melarang). Hak Tasyri’ adalah hak Allah semata. Maka, barangsiapa beribadah kepada-Nya bukan dengan cara yang diperintahkan-Nya, maka ia telah melibatkan dirinya di dalam Tasyri’.
3.   Sesungguhnya Allah telah menyempurnakan agama bagi kita sebagaimana Al-Maa-idah ayat 3. Maka, orang yang membuat tata cara ibadah sendiri dari dirinya, berarti ia telah menambah ajaran agama dan menuduh bahwa agama ini tidak sempurna (mempunyai kekurangan).
4. Dan sekiranya boleh bagi setiap orang untuk beribadah dengan tata cara dan kehendaknya sendiri, maka setiap orang menjadi memiliki caranya tersendiri dalam ibadah. Jika demikian halnya, maka yang terjadi di dalam kehidupan manusia adalah kekacauan yang tiada taranya karena perpecahan dan pertikaian akan meliputi kehidupan mereka disebabkan perbedaan kehendak dan perasaan, padahal agama Islam mengajarkan kebersamaan dan kesatuan menurut syari’at yang diajarkan Allah dan Rasul-Nya.
Ibadah di dalam syari’at Islam merupakan tujuan akhir yang dicintai dan diridhai-Nya. Karenanyalah Allah menciptakan manusia, mengutus para Rasul dan menurunkan Kitab-Kitab suci-Nya. Orang yang melaksanakannya dipuji dan yang enggan melaksanakannya dicela. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

“Dan Rabb-mu berfirman, ‘Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong tidak mau beribadah kepada-Ku akan masuk Neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.’” [Al-Mu’min: 60]

Ibadah di dalam Islam tidak disyari’atkan untuk mempersempit atau mempersulit manusia, dan tidak pula untuk menjatuhkan mereka di dalam kesulitan. Akan tetapi ibadah itu disyari’atkan untuk berbagai hikmah yang agung, kemashlahatan besar yang tidak dapat dihitung jumlahnya. Pelaksanaan ibadah dalam Islam semua adalah mudah. Di antara keutamaan ibadah bahwasanya ibadah mensucikan jiwa dan membersihkannya, dan mengangkatnya ke derajat tertinggi menuju kesempurnaan manusiawi. Termasuk keutamaan ibadah juga bahwasanya manusia sangat membutuhkan ibadah melebihi segala-galanya, bahkan sangat darurat membutuhkannya. Karena manusia secara tabi’at adalah lemah, fakir (butuh) kepada Allah. Sebagaimana halnya jasad membutuhkan makanan dan minuman, demikian pula hati dan ruh memerlukan ibadah dan menghadap kepada Allah. Bahkan kebutuhan ruh manusia kepada ibadah itu lebih besar daripada kebutuhan jasadnya kepada makanan dan minuman, karena sesungguhnya esensi dan subtansi hamba itu adalah hati dan ruhnya, keduanya tidak akan baik kecuali dengan menghadap (bertawajjuh) kepada Allah dengan beribadah. Maka jiwa tidak akan pernah merasakan kedamaian dan ketenteraman kecuali dengan dzikir dan beribadah kepada Allah. Sekalipun seseorang merasakan kelezatan atau kebahagiaan selain dari Allah, maka kelezatan dan kebahagiaan tersebut adalah semu, tidak akan lama, bahkan apa yang ia rasakan itu sama sekali tidak ada kelezatan dan kebahagiaannya. Adapun bahagia karena Allah dan perasaan takut kepada-Nya, maka itulah kebahagiaan yang tidak akan terhenti dan tidak hilang, dan itulah kesempurnaan dan keindahan serta kebahagiaan yang hakiki. Maka, barangsiapa yang menghendaki kebahagiaan abadi hendaklah ia menekuni ibadah kepada Allah semata. Maka dari itu, hanya orang-orang ahli ibadah sejatilah yang merupakan manusia paling bahagia dan paling lapang dadanya.

Tidak ada yang dapat menenteramkan dan mendamaikan serta menjadikan seseorang merasakan kenikmatan hakiki yang ia lakukan kecuali ibadah kepada Allah semata. Termasuk keutamaan ibadah bahwasanya ibadah dapat meringankan seseorang untuk melakukan berbagai kebajikan dan meninggalkan kemunkaran. Ibadah dapat menghibur seseorang ketika dilanda musibah dan meringankan beban penderitaan saat susah dan mengalami rasa sakit, semua itu ia terima dengan lapang dada dan jiwa yang tenang. Ibadahnya dapat membebaskan dari belenggu penghambaan kepada makhluk, ketergantungan, harap dan rasa cemas kepada mereka. Maka dari itu, ia merasa percaya diri dan berjiwa besar karena ia berharap dan takut hanya kepada Allah saja. Keutamaan ibadah yang paling besar bahwasanya ibadah merupakan sebab utama untuk meraih keridhaan Allah masuk Surga dan selamat dari siksa Neraka.
Oleh karena itu mari kita renungkan yang selama ini kita lakukan merupakan kebiasaan atau ibadah?
Ibnu Kasir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ibadah yang diterima oleh Allah harus memenuhi dua syarat: pertama, ikhlas karena Allah, kedua, sesuai dengan tuntunan Rasulullah saw. Dengan demikian, jika amal itu sesuai dengan syariah nabi saw, tetapi ketika melakukannya tidak ikhlas, tertolak dan tidak diterima oleh Allah, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah yang menerangkan keadaan orang munafik:
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk salat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan salat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah, kecuali sedikit sekali” (An-Nisaa’: 142)
Begitu pula, jika amal itu dilakukan secara ikhlas, tetapi tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah saw., maka tidak diterima, sebagaimana sabda Rasulullah saw:
Artinya:
“Barang siapa yang beramal tidak menurut tuntunan kami, maka amal itu ditolak.” (HR. Muslim).
Oleh karena itu, meskipun benar-benar ikhlas, tidak diterima, karena mereka tidak mengikuti tuntunan Rasulullah saw. Yang diutus kepada semua manusia , sebagai firman Allah:   
Artinya:
“Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadilkan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan”. (Al-Furqan: 23).
Dan Firmanya :
Artinya:
“Dan orang-orang kafir, amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga; tetapi bila di datanginya, dia tidak mendapatkannya sesuatu apa pun.” (An-Nuur: 39)

Dengan begitu amal ibadah akan diterima oleh Allah jika ibadah yang kita lakukan sesuai dengan tuntunan yang telah diajarkan oleh Rasulullah saw. Untuk mengetahui hal tersebut kita harus memiliki ilmu pengetahuan tentang agama Islam khususnya ilmu pengetahuan tentang syariah (fiqih) agar ibadah yang dilakukan oleh kita diridhai dan diterima oleh Allah.
            Allah berfirman:
Artinya:
“Dan Katakanlah, “Ya Tuhanku, Tambahkanlah kepadaku Ilmu Pengetahuan.” (Thahaa: 114).
           
Al-Hafifizh Ibnu Hajar berkata: “Ayat ini amat jelas menerangkan tentang keutamaan ilmu pengetahuan. Karena Allah tidak memerintahkan Nabi-Nya untuk meminta tambahan sesuatu kecuali meminta tambahan ilmu pengetahuan. Nabi saw. Menamakan majelis yang di dalamnya terdapat orang mempelajari ilmu yang bermamfaat dengan istilah “taman surga”. Juga memberitahukan bahwa para ulama pewaris para nabi.
           
Tentunya, seorang sebelum melakukan suatu perbuatan, ia harus mengetahui cara mengerjakannya perbuatan itu dengan benar. Sehingga, perbuatannya itu menjadi benar dan memberikan hasil yang seperti diharapkan. Maka, bagaimana seseorang melakukan ibadah kepada rabbnya yang dengan ibadahnya itu ia mengharapkan selamat dari neraka dan masuk surga, tapi ia tak mengetahui ilmu tentang ibadahnya itu.
Dalam hubungannya antara ilmu pengetahuan dan ibadah manusia terbagi tiga:
1.      mereka yang menyatukan antara ilmu yang bermanfaat dengan amal saleh. Mereka itu telah diberikan hidayat oleh Allah kepada jalan orang-orang yang diberikan nikmat yaitu para nabi, siddiqien, syuhada, dan shalihin.
2.      mereka yang mempelajari ilmu yang bermanfaat tetapi tak beramal denganya. Mereka itu adalah orang–orang yang mendapatkan murka dari Allah, yaitu orang-orang Yahudi dan yang mengikuti mereka.
3.      orang-orang yang beramal tanpa ilmu. Mereka itu adalah orang-orang yang tersesat dari kalangan nasrani dan orang-orang yang mengikuti mereka.
           
Ketiga kelompok ini dirangkum oleh firman Allah dalam surah al-Fatihah yang kita baca dalam dalam setiap rakaat shalat kita:  
Artinya:
“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (jalan) mereka yang sesat.” (Al-Fatihah: 6)

Mari kita mengulang untuk membaca dan memperdalami kembali ilmu-ilmu agama Islam kita khususnya ilmu fiqih agar kita tidak termasuk orang yang maghdub dan dhalin dan agar amal kita diterima disisi Allah, mari kita mempertayakan kebenaran ilmu agama Islam khususnya ilmu fiqih kita apakah yang telah kita ketahui bebetul–betul benar agar amal yang kita lakukan tidak sia-sia. Dengan begitu mari kita belajar bersama-sama untuk memperdalam ilmu-ilmu agama Islam. Mari kita ber doa semuga kita diberikan jalan oleh Allah untuk belajar ilmu-ilmu agama Islam dan semoga amal kita selalu diterima oleh Allah Aamiiin.

Dari berbagai sumber

No comments:

Post a Comment