Saat ini mayoritas negara-negara Islam menghadapi cobaan (berat)
dalam memilih pemimpin melalui cara pemilihan umum, yang ini merupakan
(penerapan) sistem demokrasi yang sudah dikenal. Padahal terdapat
perbedaan yang sangat jauh antara sistem demokrasi dan (syariat) Islam (dalam
memilih pemimpin), yang ini dijelaskan oleh banyak ulama (ahlus sunnah wal
jama’ah). ‘Ala kulli hal, pemilihan umum
dalam sistem demokrasi telah diketahui, yaitu dilakukan
dengan cara seorang muslim atau kafir memilih seseorang atau beberapa orang
tertentu sebagai calon wakil rakyat, presiden,
gubernur, bupati atau jabatan politik yang lainnya. Semua perempuan dan
laki-laki juga ikut memilih, tanpa mempertimbangkan/membedakan orang yang
banyak berbuat maksiat atau orang shaleh yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Semua ini (jelas) merupakan pelanggaran terhadap (syariat)
Islam. Sesungguhnya para sahabat yang membai’at (memilih) Abu Bakr ash-Shiddiq radhiallahu
‘anhu (sebagai
khalifah/pemimpin kaum muslimin sepeninggal Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam) di saqiifah (ruangan besar beratap tempat
pertemuan) milik (suku) Bani Saa’idah, tidak ada seorang perempuan pun yang ikut serta dalam pemilihan
tersebut. Karena urusan siyasah (politik) tidak sesuai dengan tabiat
(fitrah) kaum perempuan, sehingga mereka tidak boleh ikut berkecimpung di dalamnya.
Dan ini termasuk pelanggaran (syariat Islam), padahal Allah Ta’ala berfirman:
وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَالْأُنْثَى
“Dan laki-laki tidaklah seperti perempuan.” (Qs. Ali ‘Imraan: 36)
Maka bagaimana kalian (wahai para penganut sistem demorasi)
menyamakan antara laki-laki dan perempuan, padahal Allah yang menciptakan dua
jenis manusia ini membedakan antara keduanya?! Allah Ta’ala berfirman:
وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ مَا كَانَ لَهُمُ
الْخِيَرَةُ
“Dan Rabbmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya,
sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka.” (Qs. al-Qashash: 68)
Di sisi lain Allah Ta’ala berfirman:
أَفَنَجْعَلُ الْمُسْلِمِينَ كَالْمُجْرِمِينَ مَا لَكُمْ كَيْفَ
تَحْكُمُونَ
“Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama
dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir). Mengapa kamu (berbuat demikian);
bagaimanakah kamu mengambil keputusan?” (Qs. al-Qalam: 35 – 36)
Sementara kalian (wahai para penganut sistem demokrasi)
menyamakan antara orang muslim dan orang kafir?!
Pemilihan
Umum (Pemilu) menurut Wikipedia Indonesia adalah proses
pemilihan orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Jabatan-jabatan tersebut
beraneka-ragam, mulai dari presiden, wakil rakyat di berbagai tingkat pemerintahan,
sampai kepala desa. Pemilu merupakan salah satu
usaha untuk memengaruhi rakyat secara persuasif (tidak memaksa) dengan
melakukan kegiatan retorika, public relations,
komunikasi massa, lobby dan lain-lain kegiatan. Dalam Pemilu, para pemilih disebut konstituen, dan kepada
merekalah para peserta Pemilu menawarkan janji-janji dan program-programnya
pada masa kampanye. Kampanye dilakukan selama
waktu yang telah ditentukan, menjelang hari pemungutan suara. Setelah pemungutan suara dilakukan, proses penghitungan dimulai. Pemenang Pemilu ditentukan
oleh aturan main atau sistem penentuan pemenang yang sebelumnya telah ditetapkan dan disetujui oleh para peserta, dan
disosialisasikan ke para pemilih.
Dalam
kampanye para kandidat akan mencitrakan diri sebagai orang yang baik, peduli
dengan rakyat dan akan berjuang untuk kepentingan rakyat. Menjelang pemilu
rakyat diagung-agungkan. Seperti yang sudah-sudah begitu sudah tercapai apa
yang diinginkan para kandidat akan kembali ke sifat asli mereka. Yang terhormat
akan lebih mementingkan diri dan partainya daripada rakyat yang telah
memilihnya. Jangan harap dengan pemilu ini akan menghasilkan pemimpin yang
amanah.
Akan tetapi (bersamaan dengan itu), sebagian dari para ulama
zaman sekarang berpendapat bolehnya ikut serta dalam pemilihan umum dalam
rangka untuk memperkecil kerusakan (dalam keadaan terpaksa). Meskipun mereka
mengatakan bahwa (hukum) asal (ikut dalam pemilihan umum) adalah tidak boleh
(haram). Mereka mengatakan: Kalau seandainya semua orang diharuskan ikut serta
dalam pemilu, maka apakah anda ikut memilih atau tidak? Mereka berkata: anda
ikut memilih dan pilihlah orang yang paling sedikit keburukannya di antara
mereka (para kandidat yang ada). Karena umumnya mereka yang akan dipilih adalah
orang-orang yang memasukkkan (mencalonkan) diri mereka dalam pemilihan
tersebut. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada Abdurrahman bin
Samurah radhiallahu ‘anhu:
“Janganlah engkau (berambisi) mencari kepemimpinan, karena
sesungguhnya hal itu adalah kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat nanti.” (Gabungan dua hadits shahih riwayat imam al-Bukhari (no. 6248)
dan Muslim (no. 1652), dan riwayat Muslim (no. 1825))
Maka orang yang terpilih dalam pemilu adalah orang yang
(berambisi) mencari kepemimpinan, padahal Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa
yang (berambisi) mencari kepemimpinan maka dia akan diserahkan kepada dirinya
sendiri (tidak ditolong oleh Allah dalam menjalankan kepemimpinannya).” (HR. at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan
lain-lain, dinyatakan lemah oleh syaikh al-Albani dalam “adh-Dha’iifah” (no.
1154). Lafazh hadits yang shahih Riwayat al-Bukhari dan Muslim: “Jika
engkau menjadi pemimpin karena (berambisi) mencarinya maka engkau akan
diserahkan kepadanya (tidak akan ditolong oleh Allah).”
Allah akan meninggalkannya (tidak menolongnya), dan barangsiapa
yang diserahkan kepada dirinya sendiri maka berarti dia telah diserahkan kepada
kelemahan, ketidakmampuan dan kesia-siaan, sebagaimana yang dinyatakan oleh
salah seorang ulama salaf – semoga Allah meridhai mereka–.
‘Ala kulli hal, mereka berpendapat seperti ini dalam rangka menghindari atau
memperkecil kerusakan (yang lebih besar). Ini kalau keadaannya memaksa kita
terjeremus ke dalam dua keburukan (jika kita tidak memilih). Adapun jika ada
dua orang calon (pemimpin yang baik), maka kita memilih yang paling berhak di
antara keduanya.
Akan tetapi jika seseorang tidak mengetahui siapa yang
lebih baik (agamanya) di antara para kandidat yang ada, maka bagaimana mungkin
kita mewajibkan dia untuk memilih, padahal dia sendiri mengatakan: aku tidak
mengetahui siapa yang paling baik (agamanya) di antara mereka. Karena Allah
Ta’ala berfirman:
وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ
وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya
itu akan diminta pertanggunganjawabnya.” (Qs. al-Israa’: 36)
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa
yang menipu/mengkhianati kami maka dia bukan termasuk golongan kami.” (HSR Muslim (no. 101)). Jika anda
memilih orang yang anda tidak ketahui keadaannya maka ini adalah
penipuan/pengkhianatan.
Demikian pula, jika ada seorang yang tidak merasa puas dengan
kondisi pemilu (tidak memandang bolehnya ikut serta dalam pemilu) secara
mutlak, baik dalam keadaan terpaksa maupun tidak, maka bagaimana mungkin kita
mewajibkan dia melakukan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu
‘alaihi wa sallam?!
Maka ‘ala kulli hal, kita
meyakini bahwa Allah Ta’ala Dialah yang memilih untuk umat ini
pemimpin-pemimpin mereka. Kalau umat ini baik maka Allah akan memilih untuk
mereka pemimpin-pemimpin yang baik pula, (sabaliknya) kalau mereka buruk maka
Allah akan memilih untuk mereka pemimpin-pemimpin yang buruk pula. Dalilnya
adalah firman Allah Ta’ala:
وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضاً بِمَا كَانُوا
يَكْسِبُونَ
“Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang-orang yang zhalim
itu menjadi pemimpin bagi sebagian yang lain disebabkan apa yang mereka
usahakan.” (Qs. al-An’aam:
129)
Maka orang yang zhalim akan menjadi pemimpin bagi masyarakat
yang zhalim, demikianlah keadaannya.
Kalau demikian, upayakanlah untuk menghilangkan kezhaliman dari
umat ini, dengan mendidik mereka mengamalkan ajaran Islam (yang benar), agar
Allah memberikan untuk kalian pemimpin yang kalian idam-idamkan, yaitu seorang
pemimpin yang shaleh. Karena Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ اللَّهَ لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا
بِأَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum
sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (Dalam ayat ini) Allah tidak mengatakan “…sehingga
mereka merubah keadaan yang ada pada pemimpin-pemimpin mereka”,
akan tetapi (yang Allah katakan):“…sehingga
mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”
Sekarang
terserah pada kita, bagaimana kita mensikapi keadaan ini…………
Dikutip dari :
No comments:
Post a Comment