Oleh: Hafidz Muftisany
Saat memasuki
bulan Dzulhijah, ada beberapa kebahagiaan yang banyak dirasakan kaum Muslimin
di Tanah Air. Pertama adalah bulan haji di mana tamu Allah dijamu di Baitullah
dan mendapat pengalaman spiritual yang tinggi. Yang tidak berangkat pun turut
merasakan kebahagiaan dengan mengamalkan puasa Arafah. Kedua, Hari Raya Idul
Adha. Hari besar kedua umat Islam yang dirayakan dengan menyembelih hewan
kurban dan berbagi dengan sesama. Ketiga banyaknya hajat pernikahan yang
berlangsung di bulan Dzulhijah. Mungkin meja-meja di rumah bertumpuk undangan
hajat pernikahan dari tetangga atau kerabat. Bulan Dzulhijah, khususnya di
Indonesia, memang dikenal sebagai bulan pernikahan. Mereka jauh-jauh hari
menyiapkan tanggal pernikahan di bulan ini. Alasannya sederhana, jangan sampai
masuk ke bulan Muharram. Keyakinan yang beredar di Tanai Air, khususnya di
Jawa, bulan Muharram atau lebih dikenal bulan Suro adalah bulan yang tidak baik
untuk menggelar pernikahan. Benarkah anggapan seperti itu?
Di dalam
kepercayaan masyarakat Indonesia ada semacam keyakinan tidak boleh menggelar
hajat pernikahan di bulan-bulan tertentu. Di Minangkabau ada anjuran agar tidak
menikah di bulan Syawal. Keyakinan itu sejalan dengan budaya orang-orang Arab
jahiliyah. Alasannya, pada bulan Syawal unta betina menolak didekati unta
jantan dengan cara mengangkat ekornya. Perilaku unta betina itu disebut syalat
bi dzanabiha (menolak dengan mengangkat ekor). Dari akar kata syalat
inilah menurut Lisanul Arab Ibnu Mundzir menjadi muasal kata Syawal. Bulan
Safar juga diyakini bulan yang jelek untuk melangsungkan pernikahan. Safar
bermakna kosong. Pada bulan ini orang-orang meninggalkan rumah untuk berburu,
berperang, berdagang, dan lainnya. Akhirnya, rumah-rumah mereka kosong dan
tidak elok jika saat itu dilangsungkan pernikahan.Terakhir adalah bulan
Muharram atau bulan Suro.
Dalam keyakinan
masyarakat Jawa, bulan Suro adalah bulannya priyayi. Hanya kalangan keraton
yang boleh melangsungkan hajat di bulan Suro. Bahkan, banyak yang menyampaikan
alasan yang tidak masuk akal. Misalnya, pada bulan Surolah penguasa Laut
Selatan, Nyi Roro Kidul, melangsungkan hajat pernikahan. Keyakinan
turun-temurun itulah yang membuat orang-orang enggan melangsungkan hajat di
bulan Muharram. Padahal, sejatinya bulan Muharram adalah bulan mulia di antara
bulan-bulan lainnya dalam kalender Hijriah.
Allah SWT berfirman,
"Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam
ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat
bulan haram (suci) ....” (QS at-Taubah [9] : 36). Penjelasan dari ayat ini
didapati dalam hadis sahih riwayat Bukhari Muslim, "Setahun berputar
sebagaimana keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu
ada dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga bulannya
berturut-turut yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijah, dan Muharram. (Satu bulan lagi
adalah) Rajab." Ibnu Abbas mengomentari hadis tersebut dengan menyebut
Allah mengkhususkan empat bulan tersebut sebagai bulan haram dan suci.
Melakukan maksiat pada bulan tersebut dosanya lebih besar dan amalan saleh akan
diganjar pahala yang lebih banyak. Jelaslah jika kedudukan bulan Muharram
sangat mulia. Terlebih, pernikahan sebagai wujud sunah Rasulullah SAW. Sebuah
ikatan yang bisa mengubah hal haram menjadi halal dan berpahala. Tentu menikah
di bulan Muharram pahalanya justru akan lebih berlimpah. Di samping itu, umat
Islam dianjurkan untuk tidak mengutuk waktu. Waktu, di mana Allah SWT beberapa
kali bersumpah dengannya, adalah momentum bagi manusia untuk terus
melakukan kebaikan.
Dalam sebuah hadis qudsi, Rasulullah SAW
bersabda, "Allah ‘azza wa jalla berfirman, 'Anak Adam telah menyakiti-Ku;
ia mencela dahr (waktu), padahal Aku adalah (pencipta) dahr. Di tangan-Ku
segala perkara, Aku memutar malam dan siang” (HR Bukhari). Terlebih bulan
Muharram adalah bulan Allah. Di dalamnya disyariatkan puasa Asyura yang
ganjarannya sangat besar. Dalam sebuah hadis sahih dari Imam Muslim, ganjaran
puasa Asyura adalah bisa menghapus dosa satu tahun yang sudah lewat. "Puasa
yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada syahrullah (bulan
Allah) yaitu Muharram. Sementara, shalat yang paling utama setelah shalat wajib
adalah shalat malam.” (HR Muslim). Jika Muharram sudah disebut sebagai bulannya
Allah dan kita dilarang mengutuk waktu sebagai ciptaan Allah, lalu bagaimana
kita menyebut bulan Muharram sebagai bulan yang tidak baik? Dengan
disyariatkannya puasa Asyura juga bisa diartikan jika bulan Muharram adalah
bulan kesyukuran. Betapa tidak, disyariatkannya puasa Asyura karena pada hari
itu Nabi Musa AS diselamatkan Allah SWT dari kejaran Firaun. Melihat kaum
Yahudi Madinah berpuasa pada tanggal 10 Muharram, Nabi SAW merasa ia dan umat
Muslim lebih berhak bersyukur atas diselamatkannya Nabi Musa AS. Pernikahan dan
hajat lainnya sebagai sebuah ibadah dan bentuk kesyukuran juga tidak dibatasi
oleh waktu. Terlebih jika ingin
mengambil keutamaan ibadah di bulan Muharram sekaligus sebagai syiar bagi kaum
Muslimin tentang bolehnya
menikah di bulan Muharram. Tentu pahalanya akan lebih berlipat. Wallahua'lam.
No comments:
Post a Comment